Sabtu, 25 April 2009
Usut Asal
“Ssssstt…ngga boleh ngomong kasar ya” Bisiknya, tangannya memegang pundakku “Itu ngga baik”. Aku hanya terdiam kemudian seperti acuh tak acuh kembali bermain dengan anak-anak lainnya.
Ketika itu aku masih kelas satu SD. Ingatan itu muncul begitu saja. Masih saja Ia sempat memperhatikan aku, padahal ketika itu Ibuku sedang sibuk memasak di dapur.
Nah nah nah…. dari situlah muncul satu pertanyaan, apa sih yang membedakan sehingga ada kata-kata yang dianggap kasar dan ada kata-kata yang dianggap halus? Setelah dipikir-pikir tiga keliling ternyata belum ketemu juga tuh jawabannya…hi..hi.. udah lah itu mah dianggap angin lalu aja…pertanyaan aneh kok ya dipeliharan sih?
Sekian waktu berlalu, tak terasa Idul Fitri menjelang. Masa liburan Idul Fitri tahun 2008 ini aku berwisata ke pantai pangandaran bersama dua sahabatku dari Bogor, Hari Lesmana and Budi Wastono. Dengan membawa perlengkapan camping, kami bermalam 3 hari disana. Wah pokoke asyik banget. Unforgettable moment gitu! Untuk cerita selengkapnya lain waktu aja kali ya kalo ada sumur di ladang dan ada kesempatan menghadang \^-^/
Kecuali Hari, kami berdua pulang dari pangandaran menggunakan kereta api dari Stasiun Banjar menuju Stasiun Bandung. Hari bilang dia ada kerjaan, “harus cepet-cepet diselesein” katanya. Jadi dia pulang duluan. sayang sekali.
Waktu itu di Peron Stasiun Bandung (St. Hall), sambil nunggu keberangkatan kereta Parahyangan yang bakal nganter Budi ke Stasiun Gambir, terdengar dari speaker, nada khas setiap stasiun kereta api, dan seperti biasa tiba-tiba muncul rasa bahagia itu. Tau kan gimana nadanya? Waduw kalo gak tau susah saya jelasinnya…ning nung ning nung….nung ning nung ning…2x… ha..ha..ha… U got it?
Setiap mendengar nada itu, saya selalu merasa bahagia. Aneh kan? Awalnya saya merasa aneh juga, tapi setelah ketemu jawabannya udah ngga aneh lagi tuh…Jadi begini kesimpulan saya : Waktu kecil kalo naik kereta api berarti hanya ada dua kemungkinan, kami sekeluarga sedang mudik ke rumah Mbah di Purworejo atau jalan-jalan ke Tugu Monas Jakarta. Namanya juga mudik ato berwisata ya bikin hati seneng lah, ditambah ada nada-nada khas stasiun yang menghibur.
Jadilah keanehan itu muncul walaupun nada itu tidak mesti mengingatkan saya kepada momen-momen bahagia sewaktu kecil, but this bliss sensation appears every time I hear the tone!
Sambil berfoto di stasiun itu, saya berpikir “Nah ini dia jawabannya, Jawaban untuk pertanyaan aneh itu!” Jadi bukan semata-mata nada khas itu aja yang membuat saya bahagia, tapi ada juga faktor lain yang menyebabkannya. Begitupun dengan pilihan kata yang dirasa halus atau yang dirasa kasar, ada faktor sosiologi kemasyarakatan yang menjadikannya begitu.
Ini mungkin yaa…
Tapi sangat mungkin sekali hal itu disebabkan oleh siapa yang menggunakan kosa kata tersebut. Ada dua golongan utama dalam hal pembentukan anggapan ini. Pertama, golongan pemimpin dalam masyarakat beserta keluarganya. mereka adalah para pemimpin-pemimpin daerah hingga pemimpin setingkat raja, termasuk juga mereka para ketua suku atau pemimpin adat terdahulu sebelum istilah kerajaan, kekaisaran atau imperium muncul. Kedua, golongan perampok dan jawara (istilah zaman sekarangnya preman kali ya?)
Golongan pertama ini sangat memegang teguh etika kesopanan dan tata krama termasuk juga dalam berbicara. Sehingga hampir semua pilihan kata yang digunakan oleh golongan pertama ini dianggap sebagai kata-kata yang halus, karena mereka mengucapkan kata-kata itu dengan gerak badan yang sopan dan halus. Berbeda dengan golongan kedua yang kasar dan mungkin tidak beradab. Mereka berkomunikasi dengan sikap tidak sopan, sehingga kata-kata yang keluar dari mulut mereka terasa sebagai kata-kata kasar. Tentu ini berlaku untuk pilihan kata yang baru muncul di setiap zamannya ketika pilihan kata tersebut belum memiliki nilai kasar ataupun halus.
Sebagai contoh, kata-kata yang dianggap kasar di Zaman kerajaan Padjadjaran misalnya, adalah kata-kata yang muncul di saat sebelum masa itu yang pada awalnya digunakan oleh golongan kedua.
Dalam Bahasa Inggris pun ada dua pembedaan yaitu kata-kata yang dianggap sopan dan tidak sopan. Untuk berkomunikasi dalam situasi formal digunakanlah kosa kata dan tata bahasa yang baku seperti yang digunakan dalam lingkungan Kerajaan Inggris. Untuk komunikasi sehari-hari native speaker bahasa ini tidak selalu menggunakan tata bahasa yang baku, tetapi kosa kata yang digunakan merupakan kosa kata yang baku.
Saat ini bahasa Slang (logat/ucapan popular) dianggap sebagai kosa kata yang tidak formal (sopan) karena pengguna awal kosa kata bahasa slang ini adalah orang-orang kulit hitam Amerika (khususnya anak-anak muda dan gangster-gengster) yang terlihat tidak rapih, tidak sopan, kasar dan seenaknya dalam menggunakan Bahasa Inggris. Para ahli Tata Bahasa Inggris menganggap kelompok ini adalah kelompok orang yang merusak Bahasa Inggris.
Akhirnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan opini masyarakat tentang level suatu pilihan kata sangat dipengaruhi oleh siapa yang menggunakan dan mempopulerkan kosa kata tersebut pada awalnya. Dan seperti kita ketahui, disetiap masa hingga saat ini selalu muncul banyak kosa-kata baru yang pada gilirannya tersifati oleh parameter tidak tertulis yang bahkan tidak disadari oleh masyarakat penggunanya sekalipun.
Ini hanya lontaran dari pemikiran saya. Bagi yang membenarkan…yuk lah... Dan bagi yang menyalahkan, mungkin punya kesimpulan lain…
boleh lah kasih tau saya kesimpulan kamu kayak gimana….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
itu kayanya masuk bahasan ttg lingistik dech
BalasHapus